POLITIK DALAM PERSPEK
Sistem
politik sekuler modern yang diperkenalkan lewat proses kolonialisme oleh
bangsa-bangsa Eropa, telah menempatkan sistem politik Islam termarginalkan di
negara- negara muslim sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tataran empirik
sulit mencari sebuah negara muslim yang bisa dijadikan model sistem politik
Islam yang sesuai dengan
praktik-praktik politik kenabian dan para sahabat.
Iran, sering disebut sebagai
sebuah negara Islam yang bisa dijadikan model terhadap praktik Islam politik
kontemporer, sekaligus menjadi alternatif terhadap sistem politik barat. Namun,
sistem politik Islam sendiri pada dasarnya masih terbuka terhadap dinamika
perubahan. Karena, secara substantif hal ini berada di wilayah ijtihadi
yang sifatnya tidak monolitik. Oleh sebab itu, sistem politik Islam Iran
merupakan salah satu saja dari varian praktik sistem politik Islam yang luas.
Diskusi tentang sistem
politik Islam penting dipertimbangkan dalam tulisan ini, karena ia berkaitan
secara langsung dengan sistem rekrutmen politik atau sistem pemilihan pemimpin
dalam pemerintahan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan melakukan kajian
eksploratif terhadap sistem politik Islam untuk memberi penjelasan terhadap
mekanisme pemilihan pemimpin dan pengisian jabatan-jabatan strategis dalam
pemerintahan Islam. Hal ini penting, karena diantara persoalan yang
diperselisihkan setelah kewafatan Rasulullah SAW adalah persoalan kekuasaan
politik atau persoalan al-imamah (Salim, 2002). Sementara untuk konteks
Aceh, pengetahuan tentang masalah ini penting, karena Aceh merupakan daerah
yang secara resmi memberlakukan syari`ah sebagai hukum positif yang akan segera
menghadapi pemilihan kepala pemerintahan.
Konsepsi
Kekuasaan Politik
Istilah
politik pertama muncul dalam literatur Yunani klasik lewat karya Plato yang
terkenal, Politea. Dalam perkembangannya, politik dalam literatur Barat
mengalami banyak penafsiran. Menurut Abdul Muin Salim (2002) ada dua
kecenderungan dalam pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan
politik dengan negara; kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan kekuasaan,
otoritas atau dengan konflik.
Oleh sebab itu, politik
memiliki definisi yang variatif. Laswell (1936) mendefinisikan politik sebagai who
gets what, when and how (siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimnana).
Easton (1979) menyebutnya sebagai "the authoritative allocation of
value” (kekuasaan untuk mengalokasikan sumber-sumber yang terbatas)
Sementara Jouvenal menyebut politik sebagai "man moving man" (siapa
memerintah siapa).
Semua pendefinisian tersebut
cenderung meletakkan politik sebagai mekanisme atau seni untuk mendapatkan atau
mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan, menurut Talcot Parsons (1957) adalah "The
capacity to mobilize the resources of society for attainment of goals for which
a general public commitment…may be made" (kemampuan untuk memobilisasi
sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan umum yang
telah disepakati bersama). Sementara, kalangan Neo-Marxist seperti Poulantzas
(1973) mengatakan bahwa kekuasaan adalah “kemampuan sebuah kelas sosial untuk
mewujudkan tujuan-tujuan dan kepentingan mereka”. Definisi-definisi ini
menggambarkan bahwa seluruh tafsir tentang politik dan kekuasaan dalam
perspektif Barat dibangun di atas fondasi materialisme.
Oleh karena persoalan politik
merupakan persoalan yang amat penting dalam pengaturan kehidupan manusia,
perdebatan tentang relasi agama dan politik juga muncul dalam Islam. Setidaknya
ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat Islam dan
politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa
dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan
negara dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din
waal-daulah (Islam adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi logis dari
paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk
menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam
konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah
(Rizwan, 2001).
Kedua, kalangan yang
berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak disebutkan secara
detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa konsep
tentang nilai dan etika bernegara (Hasbi Amiruddin, 2000). Akibatnya, kalangan
ini berpendapat bahwa sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai
dasar negara, bukanlah hal yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya
nilai-nilai dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Kelompok ini termasuk
kelompok yang menganjurkan gerakan Islam kultural dan menolak Islam politik.
Ketiga, kelompok yang secara
keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan negara.
Islam sama sekali tidak mengatur persoalan ketatanegaaraan. Islam sebagai agama
harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang
memang menganut doktrin pemisahan antara agama dan negara.
Konsekuensi dari varian
pandangan tersebut sangat mempengaruhi konsepsi kekuasaan politik dalam wacana
Islam politik sendiri. Dalam kepustakaan Islam, kata politik sering
diidentikkan dengan perkataan al-Siyasah. Kata ini terdiri huruf Sin,
Wau dan Sin dengan makna pokok "kerusakan sesuatu" dan
"tabiat atau sifat dasar". Dari makna pertama terbentuk kata kerja sasayusu-sausan
yang berarti " menjadi rusak atau banyak kutu", dan dari makna
kedua terbentuk kata sasuyasusu-siyasatan yang berarti "memegang
kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, dan mengatur dan
memelihara urusan". Makna "memimpin masyarakat" ditemukan dalam
hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan
Ibnu Majah dari Abi Hurairah tentang kepemimpinan atas Bani Isra`il.
Kepemimpinan para nabi atas
Bani Isra`il bertujuan untuk mengusahakan agar Bani Isra`il kembali hidup
sesuai dengan ajaran agama Tauhid. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
konsep yang terkandung dalam istilah siyasah adalah politik yang
bermakna politik rehabilitatif (pemulihan) dari kesesatan kepada ajaran-ajaran
dan praktik keagamaan yang benar (Muin, 2002). Dengan pemikian, dalam konteks
ini, politik atau siyasah dalam literatur profetik merupakan sebuah
proses penataan dan rehabilitasi kehidupan manusia yang sudah menyimpang dari
ajaran-ajaran tauhid. Politik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah
proses perebutan kekuasaan untuk tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itulah,
tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah himayat al-din wasiyasatu al-dunya
(melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial politik).
Rekrutmen
Politik Dalam Islam
Dalam
konsep sistem politik modern, rekrutmen politik merupakan sebuah fungsi politik
bagi partai politik untuk melakukan proses penempatan orang-orang tertentu
dalam jabatan politik tertentu. Proses penjaringan, pengusungan dan pemilihan
orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik dan pemerintahan dikenal
sebagai sebagai rekrutmen politik.
Dalam hal ini, rekrutmen
politik menjadi proses penting, karena orang-orang yang dipilih untuk
ditempatkan dalam kekuasaan politik merupakan orang-orang yang akan
"memimpin masyarakat" atau akan memproduksi kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas.
Pengangkatan orang-orang
tertentu untuk mengisi kekuasaan politik dalam Islam pun tidak bebas dari
perselisihan pendapat. Dalam pandangan ulama Sunni seperti Imam al-Mawardi,
rekrutmen politik atau penentuan seorang kepala pemerintahan dapat terjadi
dengan salah satu dari dua cara: pertama, dengan ditunjuk langsung oleh
pemimpin sebelumnya kepada seseorang; kedua, dengan pembai`atan yang dilakukan
oleh dewan pemilih (ahl al-ikhtiyar) atau ahl al-hilli wa al-`aqdi.
Menurut al-Mawardi penunjukkan oleh khalifah sebelumnya sah menurut ijma`
dan para ulama sepakat untuk membenarkannya berdasarkan sandaran argumentatif
pada dua preseden pergantian khulafa u al-rasyidin dalam sejarah Islam
(Rizwan, 2001).
Sementara Ibnu Hazmin
mengatakan bahwa rekrutmen politik dan pengangkatan pemimpin sah dilakukan
menurut tiga cara; pertama, lebih utama dan lebih sahih dengan penunjukkan oleh
imam yang sedang berkuasa kepada seseorang yang dipilihnya; kedua, ketika
seorang imam wafat dan dia tidak menunjuk salah seorang penggantinya, maka
hendaklah seseorang yang berhak untuk memangku jabatan imamah dengan cepat
memproklamirkan dirinya sebagai imam; ketiga, imam ketika merasa ajalnya telah
dekat menyerahkan persoalan penggantinya kepada sebuah lembaga yang akan
bertugas memilih pengganti (Yusuf Musa, 1988).
Sementara Ibnu Taimiyah
mengatakan, bahwa untuk pengangkatan seorang dalam jabatan pemerintahan
haruslah yang paling ashlah (paling layak dan sesuai) karena ia akan
bertugas untuk mengelola persoalan kaum muslimin. Kesalahan penyerahan jabatan
pemerintahan akan mengakibatkan penderitaan kaum muslimin. Oleh sebab itu, kata
Ibnu Taimiyah, tidak dibolehkan menyerahkan kekuasaan kepada orang yang
memintanya (Ibnu Taimiyah, 1998).
Dewan pemilih yang bertugas
mendapatkan mandat untuk memilih pemimpin (melakukan rekrutmen politik) harus
memiliki tiga kriteria legal: Adil dengan segala syarat-syaratnya. Pengetahuan
(ilmu) yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam sesuai
dengan kriteria-kriteria yang ada. Berwawasan dan memiliki sikap bijaksana yang
membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi imam, paling efektif
dan paling ahli dalam mengelola semua kepentingan ummat. Sementara menurut
Hasan Al-Banna (Yusuf Musa, 1988), secara implisit para ulama melukiskan
sifat-sifat yang cocok bagi orang-orang yang duduk dalam lembaga pemilihan
adalah: Para ulama yang punya kapabelitas untuk memberikan fatwa dalam hukum
agama. Para pakar dalam urusan umum. Orang-orang yang memiliki integritas
kepemimpinan di kalangan masyarakat.
Sistem yang kita gambarkan di
atas, bisa dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu sistem politik putra
mahkota atau pewarisan, dan sistem politik perwakilan. Dalam sistem penunjukkan
oleh pemimpin sebelumnya, maka sangat jelas bahwa prinsip keterlibatan para
ulama dan tokoh-tokoh masyarakat dan politik sangatlah terbatas, sehingga
mengesankan bahwa kekuasaan politik merupakan sebuah wilayah yang bersifat
privat. Padahal, kekuasaan pemerintahan merupakan wilayah umum karena berkaitan
langsung dengan persoalan umat. Sementara sistem perwakilan politik merupakan
sistem yang memberi ruang keterlibatan ulama, tokoh masyarakat dan politik dan
para inteleketual untuk menentukan kepada siapa kekuasaan politik harus
diserahkan.
Berdasarkan sistem perwakilan
politik ini, rekrutmen politik untuk memilih pemimpin sebenarnya bisa diperluas
menjadi mekanisme yang melibatkan masyarakat secara luas melalui pemilihan
umum. Menurut Lukman Taib (2001), penyerahan kekuasaan politik kepada lembaga
yang bertugas melakukan pemilihan kepala pemerintahan merupakan formula
kontraktual yang sesuai dengan sistem perwakilan politik. Oleh karena sistem
kontraktual ini pernah berlangsung dan dipraktikkan pada masa awal Islam, maka
sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia, sistem kontraktual ini bisa
diperluas menjadi sistem pemilihan umum. Hal ini bersandar pada ayat al-qur`an
(al-syura:38) "dan urusan mereka (kaum muslimin) diputuskan dengan
musyawarah diantara mereka", serta surah Ali Imran: 159, "bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan ini".
luar biasa,,,, amaizing,,,
BalasHapusurang sepakat lur,,,, persoalan kepeminmpinan umat dalam islam itu menjadi wilayah ijtihadiyah, dan kita tau bahwa keterngan dalam kitab-kitab ushul fiqh klasik bahwa persoalan ijtihad itu ada pada wilayah fiqh bukan ushul, sehingga keputusan yang di hasilakan melalui mekanisme ijtihad bersifat dzanniyat (perkiraan). maka tidak bisa kita menghukumi satu pendapat saja (ekslusif).
kebenaran dalam fiqh meniscayakan adanya keragaman, dan itu di buktikan dari beragam pendapat (ijtihad politik) yang sudah di sampaikan di atas, seperti perbedaan pendapat menurut al-mawardi, ibnu hazm, ibnu taimiyah dll...