Jumat, 24 Agustus 2012

POLITIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM



POLITIK DALAM PERSPEK
          Sistem politik sekuler modern yang diperkenalkan lewat proses kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa, telah menempatkan sistem politik Islam termarginalkan di negara- negara muslim sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tataran empirik sulit mencari sebuah negara muslim yang bisa dijadikan model sistem politik Islam yang sesuai dengan
praktik-praktik politik kenabian dan para sahabat.
Iran, sering disebut sebagai sebuah negara Islam yang bisa dijadikan model terhadap praktik Islam politik kontemporer, sekaligus menjadi alternatif terhadap sistem politik barat. Namun, sistem politik Islam sendiri pada dasarnya masih terbuka terhadap dinamika perubahan. Karena, secara substantif hal ini berada di wilayah ijtihadi yang sifatnya tidak monolitik. Oleh sebab itu, sistem politik Islam Iran merupakan salah satu saja dari varian praktik sistem politik Islam yang luas.
Diskusi tentang sistem politik Islam penting dipertimbangkan dalam tulisan ini, karena ia berkaitan secara langsung dengan sistem rekrutmen politik atau sistem pemilihan pemimpin dalam pemerintahan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan melakukan kajian eksploratif terhadap sistem politik Islam untuk memberi penjelasan terhadap mekanisme pemilihan pemimpin dan pengisian jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan Islam. Hal ini penting, karena diantara persoalan yang diperselisihkan setelah kewafatan Rasulullah SAW adalah persoalan kekuasaan politik atau persoalan al-imamah (Salim, 2002). Sementara untuk konteks Aceh, pengetahuan tentang masalah ini penting, karena Aceh merupakan daerah yang secara resmi memberlakukan syari`ah sebagai hukum positif yang akan segera menghadapi pemilihan kepala pemerintahan.
Konsepsi Kekuasaan Politik
          Istilah politik pertama muncul dalam literatur Yunani klasik lewat karya Plato yang terkenal, Politea. Dalam perkembangannya, politik dalam literatur Barat mengalami banyak penafsiran. Menurut Abdul Muin Salim (2002) ada dua kecenderungan dalam pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara; kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan kekuasaan, otoritas atau dengan konflik.
Oleh sebab itu, politik memiliki definisi yang variatif. Laswell (1936) mendefinisikan politik sebagai who gets what, when and how (siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimnana). Easton (1979) menyebutnya sebagai "the authoritative allocation of value” (kekuasaan untuk mengalokasikan sumber-sumber yang terbatas) Sementara Jouvenal menyebut politik sebagai "man moving man" (siapa memerintah siapa).
Semua pendefinisian tersebut cenderung meletakkan politik sebagai mekanisme atau seni untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan, menurut Talcot Parsons (1957) adalah "The capacity to mobilize the resources of society for attainment of goals for which a general public commitment…may be made" (kemampuan untuk memobilisasi sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan umum yang telah disepakati bersama). Sementara, kalangan Neo-Marxist seperti Poulantzas (1973) mengatakan bahwa kekuasaan adalah “kemampuan sebuah kelas sosial untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan kepentingan mereka”. Definisi-definisi ini menggambarkan bahwa seluruh tafsir tentang politik dan kekuasaan dalam perspektif Barat dibangun di atas fondasi materialisme.

Oleh karena persoalan politik merupakan persoalan yang amat penting dalam pengaturan kehidupan manusia, perdebatan tentang relasi agama dan politik juga muncul dalam Islam. Setidaknya ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat Islam dan politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din waal-daulah (Islam adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi logis dari paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah (Rizwan, 2001).
Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa konsep tentang nilai dan etika bernegara (Hasbi Amiruddin, 2000). Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam kultural dan menolak Islam politik.
Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan negara. Islam sama sekali tidak mengatur persoalan ketatanegaaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan antara agama dan negara.
Konsekuensi dari varian pandangan tersebut sangat mempengaruhi konsepsi kekuasaan politik dalam wacana Islam politik sendiri. Dalam kepustakaan Islam, kata politik sering diidentikkan dengan perkataan al-Siyasah. Kata ini terdiri huruf Sin, Wau dan Sin dengan makna pokok "kerusakan sesuatu" dan "tabiat atau sifat dasar". Dari makna pertama terbentuk kata kerja sasayusu-sausan yang berarti " menjadi rusak atau banyak kutu", dan dari makna kedua terbentuk kata sasuyasusu-siyasatan yang berarti "memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, dan mengatur dan memelihara urusan". Makna "memimpin masyarakat" ditemukan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah tentang kepemimpinan atas Bani Isra`il.
Kepemimpinan para nabi atas Bani Isra`il bertujuan untuk mengusahakan agar Bani Isra`il kembali hidup sesuai dengan ajaran agama Tauhid. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep yang terkandung dalam istilah siyasah adalah politik yang bermakna politik rehabilitatif (pemulihan) dari kesesatan kepada ajaran-ajaran dan praktik keagamaan yang benar (Muin, 2002). Dengan pemikian, dalam konteks ini, politik atau siyasah dalam literatur profetik merupakan sebuah proses penataan dan rehabilitasi kehidupan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran-ajaran tauhid. Politik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah proses perebutan kekuasaan untuk tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itulah, tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah himayat al-din wasiyasatu al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial politik).
Rekrutmen Politik Dalam Islam
          Dalam konsep sistem politik modern, rekrutmen politik merupakan sebuah fungsi politik bagi partai politik untuk melakukan proses penempatan orang-orang tertentu dalam jabatan politik tertentu. Proses penjaringan, pengusungan dan pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik dan pemerintahan dikenal sebagai sebagai rekrutmen politik.
Dalam hal ini, rekrutmen politik menjadi proses penting, karena orang-orang yang dipilih untuk ditempatkan dalam kekuasaan politik merupakan orang-orang yang akan "memimpin masyarakat" atau akan memproduksi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas.
Pengangkatan orang-orang tertentu untuk mengisi kekuasaan politik dalam Islam pun tidak bebas dari perselisihan pendapat. Dalam pandangan ulama Sunni seperti Imam al-Mawardi, rekrutmen politik atau penentuan seorang kepala pemerintahan dapat terjadi dengan salah satu dari dua cara: pertama, dengan ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya kepada seseorang; kedua, dengan pembai`atan yang dilakukan oleh dewan pemilih (ahl al-ikhtiyar) atau ahl al-hilli wa al-`aqdi. Menurut al-Mawardi penunjukkan oleh khalifah sebelumnya sah menurut ijma` dan para ulama sepakat untuk membenarkannya berdasarkan sandaran argumentatif pada dua preseden pergantian khulafa u al-rasyidin dalam sejarah Islam (Rizwan, 2001).
Sementara Ibnu Hazmin mengatakan bahwa rekrutmen politik dan pengangkatan pemimpin sah dilakukan menurut tiga cara; pertama, lebih utama dan lebih sahih dengan penunjukkan oleh imam yang sedang berkuasa kepada seseorang yang dipilihnya; kedua, ketika seorang imam wafat dan dia tidak menunjuk salah seorang penggantinya, maka hendaklah seseorang yang berhak untuk memangku jabatan imamah dengan cepat memproklamirkan dirinya sebagai imam; ketiga, imam ketika merasa ajalnya telah dekat menyerahkan persoalan penggantinya kepada sebuah lembaga yang akan bertugas memilih pengganti (Yusuf Musa, 1988).
Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa untuk pengangkatan seorang dalam jabatan pemerintahan haruslah yang paling ashlah (paling layak dan sesuai) karena ia akan bertugas untuk mengelola persoalan kaum muslimin. Kesalahan penyerahan jabatan pemerintahan akan mengakibatkan penderitaan kaum muslimin. Oleh sebab itu, kata Ibnu Taimiyah, tidak dibolehkan menyerahkan kekuasaan kepada orang yang memintanya (Ibnu Taimiyah, 1998).
Dewan pemilih yang bertugas mendapatkan mandat untuk memilih pemimpin (melakukan rekrutmen politik) harus memiliki tiga kriteria legal: Adil dengan segala syarat-syaratnya. Pengetahuan (ilmu) yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam sesuai dengan kriteria-kriteria yang ada. Berwawasan dan memiliki sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi imam, paling efektif dan paling ahli dalam mengelola semua kepentingan ummat. Sementara menurut Hasan Al-Banna (Yusuf Musa, 1988), secara implisit para ulama melukiskan sifat-sifat yang cocok bagi orang-orang yang duduk dalam lembaga pemilihan adalah: Para ulama yang punya kapabelitas untuk memberikan fatwa dalam hukum agama. Para pakar dalam urusan umum. Orang-orang yang memiliki integritas kepemimpinan di kalangan masyarakat.
Sistem yang kita gambarkan di atas, bisa dikategorikan  dalam dua bentuk, yaitu sistem politik putra mahkota atau pewarisan, dan sistem politik perwakilan. Dalam sistem penunjukkan oleh pemimpin sebelumnya, maka sangat jelas bahwa prinsip keterlibatan para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat dan politik sangatlah terbatas, sehingga mengesankan bahwa kekuasaan politik merupakan sebuah wilayah yang bersifat privat. Padahal, kekuasaan pemerintahan merupakan wilayah umum karena berkaitan langsung dengan persoalan umat. Sementara sistem perwakilan politik merupakan sistem yang memberi ruang keterlibatan ulama, tokoh masyarakat dan politik dan para inteleketual untuk menentukan kepada siapa kekuasaan politik harus diserahkan.
Berdasarkan sistem perwakilan politik ini, rekrutmen politik untuk memilih pemimpin sebenarnya bisa diperluas menjadi mekanisme yang melibatkan masyarakat secara luas melalui pemilihan umum. Menurut Lukman Taib (2001), penyerahan kekuasaan politik kepada lembaga yang bertugas melakukan pemilihan kepala pemerintahan merupakan formula kontraktual yang sesuai dengan sistem perwakilan politik. Oleh karena sistem kontraktual ini pernah berlangsung dan dipraktikkan pada masa awal Islam, maka sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia, sistem kontraktual ini bisa diperluas menjadi sistem pemilihan umum. Hal ini bersandar pada ayat al-qur`an (al-syura:38) "dan urusan mereka (kaum muslimin) diputuskan dengan musyawarah diantara mereka", serta surah Ali Imran: 159, "bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini".

1 komentar:

  1. luar biasa,,,, amaizing,,,
    urang sepakat lur,,,, persoalan kepeminmpinan umat dalam islam itu menjadi wilayah ijtihadiyah, dan kita tau bahwa keterngan dalam kitab-kitab ushul fiqh klasik bahwa persoalan ijtihad itu ada pada wilayah fiqh bukan ushul, sehingga keputusan yang di hasilakan melalui mekanisme ijtihad bersifat dzanniyat (perkiraan). maka tidak bisa kita menghukumi satu pendapat saja (ekslusif).

    kebenaran dalam fiqh meniscayakan adanya keragaman, dan itu di buktikan dari beragam pendapat (ijtihad politik) yang sudah di sampaikan di atas, seperti perbedaan pendapat menurut al-mawardi, ibnu hazm, ibnu taimiyah dll...

    BalasHapus